Dalam transaksi jual-beli tanah, Surat Pengakuan Hak (SPH) tanah menjadi salah satu dokumen krusial. Terutama ketika tanah yang hendak Anda beli belum bersertifikat. Meskipun bersifat informal, SPH tanah memiliki legitimasi sebagai bukti awal kepemilikan tanah dan menjadi persyaratan utama dalam proses pendaftaran SHM. Jadi, untuk mengetahui apa itu SPH tanah lebih dalam dan bagaimana kedudukan hukumnya, mari kita bahas di artikel berikut ini.
Apa Itu SPH Tanah?
Surat Pengakuan Hak (SPH) tanah adalah dokumen yang memberikan pengakuan atas kepemilikan seseorang atau lembaga terhadap suatu bidang tanah yang belum bersertifikat, seperti girik atau verponding. Dokumen ini bersifat informal dan diterbitkan oleh pemerintah desa atau kelurahan. Meskipun bersifat informal, SPH memiliki peran krusial dalam transaksi jual-beli tanah yang belum bersertifikat, karena menjadi salah satu persyaratan dalam proses pendaftaran tanah atau pembuatan sertifikatnya.
Dasar Hukum Surat Pengakuan Hak Tanah
Dasar hukum SPH tanah dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan tersebut memberikan kewenangan penguasaan atas tanah negara kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). SPH dikeluarkan oleh pemerintah desa atau kelurahan untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh negara, dan dokumen ini menjadi bukti awal kepemilikan tanah sebelum proses pendaftaran lebih lanjut.
Meskipun SPH memiliki peran sebagai bukti awal kepemilikan, secara hukum, dokumen ini tidak dapat dijadikan sebagai bukti hak milik yang sah. Hak milik atas tanah baru diakui secara hukum setelah didaftarkan dan memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM). Oleh karena itu, dalam transaksi jual-beli tanah yang belum bersertifikat, pembeli wajib melakukan proses pendaftaran untuk mendapatkan hak atas tanah tersebut.
Proses Pendaftaran Tanah dengan SPH
Pendaftaran tanah yang belum bersertifikat melibatkan sejumlah dokumen, dan salah satu persyaratan utama adalah surat pengakuan hak. Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (PP 24/1997) tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama harus dibuktikan dengan alat bukti tertulis.
Dokumen ini menjadi salah satu alat bukti tertulis yang diakui, namun harus diiringi dengan alat bukti lain seperti saksi, pengakuan, persangkaan, dan sumpah. Alat bukti tertulis ini mencakup surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta autentik, dan bawah tangan. Dengan demikian, SPH dapat dijadikan alas hak untuk memperoleh hak atas tanah melalui proses pendaftaran tanah.
Unsur-Unsur SPH Tanah
Surat Pengakuan Hak Tanah harus memenuhi sejumlah unsur untuk dianggap sah sebagai alas hak atau bukti penguasaan tanah secara yuridis. Beberapa unsur tersebut meliputi:
- Pernyataan Penguasaan Tanah: Pernyataan dari pihak yang menguasai tanah bahwa tanah tersebut berada dalam kekuasaannya dan tidak bertentangan dengan hak pihak lain atas tanah tersebut.
- Riwayat Tanah: Pernyataan mengenai riwayat tanah atau proses peralihannya secara historis.
- Luas Tanah dan Pemilik yang Berbatasan: Pernyataan luas tanah dan menyebutkan para pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah tersebut.
- Tidak Terlibat dalam Sengketa: Pernyataan bahwa tanah tersebut tidak terlibat dalam sengketa.
- Tidak Sedang Dijaminkan: Pernyataan bahwa tanah tersebut tidak sedang dijaminkan.
- Tidak Sedang Dalam Peralihan Hak: Pernyataan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam peralihan hak.
- Peta dan Gambar Tanah: Peta dan gambar tanah beserta luasnya dan batas-batasnya sebagai lampiran.
- Tanda Tangan Pemilik Tanah dan Pejabat Desa: Tanda tangan para pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah tersebut sebagai saksi, serta tanda tangan lurah/kepala desa dan camat sebagai pihak yang mengetahui.